Statistic

Rabu, 23 November 2011

Karyaku Cerpen

Ini adalah sebuah cerpen yang pernah saya buat, selamat membaca :)


Simfoni yang Tertunda

            Ku pandangi wajah wanita yang telah melahirkanku 20 tahun silam.
            Teringat jelas bahwa kami ini sangat mirip, begitu anggapan setiap orang yang bertemu kami. Walaupun terpaut usia, ia tetap terlihat awet muda di usianya yang menginjak 45 tahun. Semua yang ada pada dirinya menurun padaku. Tinggi semampai, rambut ikal bergelombang, kulit sawo matang hingga bakatku bermain piano. Kecuali lesung pipi di kedua pipiku ku dapat dari ayah.
            Selama ini semua amat sempurna bagiku. Tapi tak ku sangka. Kini semuanya berubah.
            Ibuku. Terbaring tak berdaya di rumah sakit karena kanker yang menggerogoti tubuhnya, perlahan namun pasti. Dia terbaring tak berdaya dengan banyak selang melekat di tubuhnya. Nafasnya pendek, teratur, dan pelan. Rambutnya yang dulu hitam berubah menjadi kusam. Wajahnya tak memancarkan keceriaan. Aku amat rindu pada senyum manis dan sentuhan tangannya yang halus.
            Rasanya aku ingin menjerit dan menangis. Mengapa harus ibuku?? Akankah ia mampu bertahan?? Kurasakan tangannya menggenggam tanganku. Punggung tangannya basah terkena tetes air mataku.
            “Ibu.. maaf.. aku ga bermaksud..” kataku terbata.
            “Dera?” tanyanya pelan sambil membuka mata.
            Ku lihat sorot letih dan kesakitan dari matanya. Bagaimana bisa Tuhan memberi cobaan seberat ini pada orang yang teramat baik seperti ibuku? Apa salahnya?!
            “Sayang, Ibu gag apa kok, Tuhan kan selalu mendampingi Ibu” katanya seakan tahu apa yang kupikirkan.
            “Bu! Bagaimana bisa Ibu tidak menyalahkan Tuhan! Gara-gara Dia, Bu!” seruku marah.
            “Sayang, kenapa kamu bilang seperti itu? Jangan sayang” jawabnya menenangkanku. “Semua ini sudah jalan yang Dia berikan untuk kita. Seluruh hidup kita ada di tangan-Nya. Jangan pernah menyalahkan Tuhan, Dera. Justru kita harus bersyukur Tuhan masih sayang dan melindungi kita.”
            “Apa?? Sayang?! Bu, semuanya sungguh sempurna sebelum ini terjadi! Kenapa jadi seperti ini? Aku.. aku..”
            Tangisku tak dapat kutahan lagi. Ku berlari meninggalkan ruang tempat ibuku dirawat. Aku tidak dapat menahan amarah dan kesedihanku kalau harus melihatnya seperti ini. Ku turuni tangga rumah sakit dengan cepat. Ku ingin meluapkan rasa ini. Tidak di sini. Hanya dia yang bisa membantuku. Piano.
***
            Air mataku sudah mengering. Ku langkahkan kaki menuju grand piano hitam di ruang keluarga. Tak mudah menginjakkan kaki di tempat ini di mana banyak tersimpan kenangan bahagi bersama ibuku. Masih berdiri ku usap tuts piano satu persatu.
            Ku mainkan melodi favoritku, suaranya makin sayup, yang terdengar hanyalah pertengkaran dengan ibuku tadi. Matanya yang sayu menahan sakit bahkan ketika dia hanya mengucapkan beberapa kata padaku. Ibu.. Maafkan aku.. Seharusnya ku tak berkata seperti itu kepadamu. Apalagi di saat ku tak tahu berapa lama lagi ku bisa bersamamu. Tuhan.. Maaf, sungguh aku tak bermaksud menyalahkan-Mu, aku hanya belum bisa menerimanya.
            Matahari sudah hampir tenggelam. Akankah esok ibu masih bertahan?? Ahh aku yakin iya! Ibuku wanita yang kuat, ia akan bertahan demi suaminya dan aku, putri tunggalnya.
            Tiba-tiba aku teringat pada sebuah simfoni favorit ibuku. Ku mainkan itu sepenuh hati. Ia amat ingin melihatku di atas panggung mendengarku memainkan simfoni ini. Simfoni buah karyanya yang tak sempat ia mainkan di atas panggung konser. Cita-citanya yang tak tercapai, tapi akan ku gapai itu demi dia..
            “Aha! Ibu pasti rindu mendengar simfoni ini! Akan ku mainkan dan ku rekam sehingga hatinya terhibur sekaligus ini menjadi ucapan permintaan maafku. Ibu pasti senang mendapat kejutan ini!” Ku letakkan handphoneku di atas piano. Ku atur agar dapat merekam simfoni yang ku mainkan. Alunan pianoku terdengar merdu bahkan di telingaku sendiri. Senyum merekah di bibirku, mataku berbinar merasakan gelombang kebahagiaan. Dan aku yakin, melodi ini juga akan memberi ibuku hal yang sama.
            Bip bip bip. Satu pesan masuk terlihat di layar handphoneku. Pesan dari ayah.
            Dera.. Segera ke rumah sakit.. sekarang.
            Pikiran yang buruk melintas di kepalaku. Apa yang terjadi? Bukankah malam ini giliran ayah yang menemani ibu? Atau... Aku tak berani membayangkan hal itu. Ku percepat langkahku ke halaman dan membuka pintu mobil. Segera ku pacu cepat mobilku ke arah rumah sakit.
***
           
Langkahku terhenti. Ku lihat sosok pria yang ku kenal di depan ruang ICU.
            “Ayah??” ku berlari menghampirinya. Cemas. Khawatir. Jadi satu.
            “Dera?” suaranya tercekat sedih. Ku pandangi sorot matanya. Dan ku tahu, sesuatu yang buruk sedang terjadi. Dipaksanya untuk menatapku dan berkata, “Tadi sore setelah bertemu dokter Ayah menemui Ibumu. Dia bilang kamu sudah pulang dan tadi kalian sempat bertengkar. Benar?”
            “Hanya persoalan kecil. Bukan masalah. Tapi apa yang Ayah lakukan disini? Tidak menemani Ibu di kamarnya? Mengapa menyuruhku datang?” tanyaku penasaran sekaligus ingin mengganti topik.
            “Setelah Ibumu bilang begitu tiba-tiba ia sulit bernafas dan sekarang..” Ayah tak melanjutkan kalimatnya. Bahkan tak perlu. Ya, aku sudah paham. Ibuku. ICU.
            Satu jam kami menunggu. Tak seorangpun keluar dari ruang ICU. Berkali-kali ayah berdiri, beranjak dari tempat duduknya, berjalan, lalu duduk kembali sembari diam memandangi lantai. Sebenarnya apa yang terjadi sehingga ibu harus ada di ruang ICU selama ini, tanyaku dalam hati. Setengah jam berlalu... Hah!! Ini bisa membuatku gila. Seakan dokter dan perawat senang sekali membuat kami khawatir dalam penantian ini.
            Malam semakin larut. Sudah empat jam kami menunggu. Dan akhirnya pintu itu terbuka. Dokter menatapku dan ayah secara bergantian. Sorot matanya terlihat meminta maaf. Gelombang kepanikan menyerangku cepat.
            “Dokter! Gimana keadaan ibu saya?!” tanyaku cepat. Tangan dokter itu membelai bahuku pelan. Ia pun berlalu dan berbicara pada ayah. Apa sih maksudnya! Kenapa tak menjawab pertanyaanku??
            Ku beranikan diri menerobos masuk ruangan tempat wanita yang amat ku cintai berada. Terlihat jelas bahkan sebelum aku benar-benar mendekat.
            Selimut putih menutup seluruh tubuhnya hingga kepala. Pendeteksi detak jantung di sampingnya menunjukkan garis panjang tak terputus....
***
            Tatapanku kosong. Mataku merah. Namun air mataku telah kering.
            Berhari-hari aku menangisi kepergiannya. Menangisi kebodohanku karena tak sempat menemaninya lebih lama. Menangisi waktu yang terlalu cepat merenggut hidupnya di dunia ini.
            Di tanganku tergenggam sebuah kotak hitam berukir mawar. Bunga favorit mendiang ibuku. Telah ku baca surat terakhir darinya, surat permohonan terakhirnya untuk tidak sedih karenanya, untuk tetap menyimpan semua kenangan indah bersamanya, dan untuk tetap menggapai semua cita-citaku.
            Ya, aku akan tetap menggapai semuanya. Aku akan menbahagiakan ayah dan dirimu, ibu. Piano itu akan tetap mengalun demi dirimu. Ku pandangi foto pernikahan orang tuaku yang terbingkai indah di hadapanku. Wajah bahagia mereka. Ibu. Ayah.
***
            5 tahun kemudian.
            Grand piano kesayanganku menanti diriku di atas panggung konser.
Sejenak ku tatap wajah ayahku yang duduk di kursi terdepan. Jariku mulai menari menghasilkan alunan simfoni indah favorit ibuku. Simfoni yang tak akan ia dengar secara langsung. Namun aku merasa seorang malaikat sedang tersenyum menantapku saat ini. Bahagia karena dapat melihat putrinya menjadi seorang pianis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar